Betapa Allah Sayang Padaku…

Dengan mobil ambulan, kami menuju rumah sakit yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah bidan. Sesampai di sana, ayahku sibuk mengurus berkas-berkas administrasi. Sementara ibuku dimasukkan ke ruang persiapan operasi. Dokter yang dikonfirmasi siap menangani persalinan pukul 13.30 siang.

Singkat cerita, sesuai skedul pukul 13.30 ibuku pun mulai dioperasi. Pukul 14.00 seorang bidan rumah sakit keluar ruangan memangil keluarga ibuku. “Keluarga Ibu Aisyah!” begitulah panggilan dari bidan perawat yang mengagetkan ayahku yang duduk menunggu di beranda rumah sakit.

Bidan memberi tahu bahwa diriku telah lahir dan menyuruhnya masuk melihat diriku. Wajah ayahku begitu bahagia. Lebih terkejut ketika bidan berteriak “Bayinya perempuan, Pak!”. Ayah melihati diriku yang masih berlumuran dengan air ketuban, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ayahku meminta izin untuk mengazankan dan mengiqomatkan diriku. Maka melantunlah kata-kata suci yang membuatku sejenak berhenti dari tangisanku. Sebelum aku diambil untuk dibersihkan, secara reflek ayahku memfoto diriku karena khawatiran diriku tertukar dengan bayi yang lain. Apa yang yang dilakukan ayahku adalah bagian dari kontrol untuk memastikan bahwa aku adalah buah hatinya. Itu adalah setitik tanda bahwa ayah begitu mencintai diriku.

Tiga hari aku berada di rumah sakit. Hari ke empat aku pulang ke rumah ibu yang sekaligus menjadi rumah baruku di dunia. Hari ketujuh aku diaqiqahkan, diberi nama dan rambutku dipotong. Rambutku ditimbang dan uang senilai emas dengat berat rambutku diinfaqkan. Tetangga, kerabat, dan ibu-ibu pengajian datang memberi doa untukku: u’iidzuki bi kalimaatil laahit taammati min kulli syaithaanin wa haammatin wa min kulli ‘ainin laammah (HR Bukhari). Malam harinya, beberapa bapak juga turut hadir menyantap hidangan aqiqah dan memberi doa untukku.

Aku merasa dimuliakan. Aku begitu disambut gembira oleh semua orang. Termasuk oleh dua abangku yang memang mengharap datangnya adik perempuan. Kado dari hadirin cukup melimpah, sehingga sebagiannya dihadiahkan kepada saudara dan kerabat yang membutuhkan. Bagiku adalah secukupnya saja. Kecuali kain popok dan bedong yang memang harus dibanyakin menjelang musim hujan ini.

Di hadapan bapak-bapak, ayahku menyitir sebuah hadits Nabi Saw: “Barangsiapa yang memiliki tiga anak perempuan, kemudian ia mendidiknya dengan baik dan menikahkan dengan laki-laki yang baik, maka baginya surga”. Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika dua ya Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab, “Dua juga demikian.” Kemudian sahabat bertanya lagi, “Bagaimana jika satu saja?” Rasulullah Saw menjawab, “Satu demikian juga!” Intinya adalah bahwa memiliki anak perempuan adalah kemuliaan dan sarana untuk mencapai kemuliaan yang lebih besar. Dengan menganugerahi anak perempuan berarti Allah SWT memuliakan dan mempercayakan pemeliharaan sang anak. Dan bila orang tua memegang teguh kepercayaan Allah SWT itu, maka Allah SWT akan membalas dengan kemuliaan hakiki berupa kedudukan di surga.

Mataku berkaca-kaca. Aku merasa sangat terharu. Begitu Islam sangat memuliakan anak perempuan seperti diriku. Beda dengan masyarakat Jahiliyah dulu. Mereka menganggap kami sebagai kehinaan dan musibah. Bahkan tidak sedikit bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup. Alangkah bersyukurnya, aku dilahirkan dalam keagungan cahaya Islam. Aku merasa bahwa Allah begitu sangat menyayangiku.

Semoga Allah yang Mahaluas kasih sayang-Nya, tidak hanya melimpahkan nikmat-Nya di dunia melainkan berlanjut hingga akhirat kelak. Barangkali itulah hikmah aku diberi nama asma al husna yakni “Abdurrahim” di belakang namaku. Abangku semua juga menggunakan nama asma al husna. Hanya saja nama itu di tempatkan di depan bukan di belakang. Masih sedikit orang tua memberi nama asma al husna kepada anak perempuan. Mereka khawatir orang akan menganggap sebagai bayi laki-laki. Atau orang akan mengira bahwa nama itu adalah nama ayahnya kecuali jika ditulis lengkap dengan nama nasabnya. Di negeriku, menulis nama lengkap dengan nasabnya belum dibudayakan seperti halnya di negeri tetangga Malaysia atau negeri muslim lainnya. Sayang, padahal itu adalah bagian dari budaya Islam yang semestinya dipraktekkan sebagaimana dipraktekkan oleh para sahabat.

Seperti halnya abang-abangku, namaku diambil dari Al Quran dan berbau surgawi. Namaku “Tasnim” yaitu nama salah satu mata air di surga. Boleh jadi ayahku ingin aku menjadi penyejuk mata dan sumber kebahagiaan laksana Tasnim di surga.

Nama tengahku adalah “Amani” yang berarti keamananku atau ketenanganku. Mungkin ayahku berharap aku bisa menjadi ketenangan bagi mereka dan bagi diriku sendiri. Ketenangan yang bersumber dari iman yang kumiliki sehingga diriku selalu terjaga dari keburukan atau langkah syaitan dan aku terbimbing menjadi wanita sholehah, sebaik-sebaik perhiasan di dunia.

Perjalanan singkat menjelang dan setelah aku dilahirkan ini membawa hikmah yang sangat besar bagiku. Allah SWT yang Mahaluas ilmu-Nya, paling mengetahui siapa diriku dan bagaimana aku menjadi nantinya. Apa yang berlangsung hingga kini cukup menjadi bukti bahwa Allah Mahaluas kasih sayang-Nya (Ar Rahman). Oleh karenanya, tidak ada alasan bagiku untuk optimis menjalani hidup ini. Hidup yang penuh dengan ujian dan tipu daya.

Namun di balik syukurku ini, masih terpendam suatu keprihatinan di dalam hati. Banyak bayi-bayi seperti diriku yang mengalami kelaparan dan kematian. Dan betapa banyak orang tua yang lalai dari pemeliharaan anak perempuan sehingga perzinahan dan kerusakan moral ada dimana-mana.

Keberkahan atas diriku dan orang tua yang melahirkan diriku. Semoga Allah senantiasa membimbing langkah hidupku di tengah fitnah kehidupan yang makin bergejolak. Amin.
(Tasnim Amani Abdurrahim)

Pages ( 2 of 2 ): « Sebelumnya1 2

Tinggalkan komentar

Show Buttons
Hide Buttons